Sahabat Awan (Bagian 5)

sahabat awan

Pencinta Awan

Esok paginya, aku mencoba mengajak mereka ke gubuk si nenek lagi. Sejak kejadian malam tadi, kakiku rasanya gatal ingin ke gubuk itu lagi setelah hari sudah siang. Aku ingin membuktikan apakah si nenek itu hantu atau bukan. Kalau dia benar-benar hantu, di siang hari pasti dia tidak akan muncul.

Sementara sambil menunggu Egi dan Christy pulang dari gereja di Sampit, kami berkumpul di rumah main sambil mengerjakan PR. Saat panas sudah menusuk-nusuk kulit, kami mulai memasuki hutan. Gubuknya masih sama seperti tadi malam, jelek. Entahlah dengan si nenek, apakah ia berubah wujud atau tidak. Dengan tangan gemetaran Dimas mengetuk pintu itu. Kemudian si nenek keluar dengan santainya membawa dua buah tikar dan sebuah keranjang yang ditutupi kain di atasnya. Untunglah, berarti si nenek manusia, apalagi kakinya menyentuh tanah. Nenek itu sepertinya sudah tahu akan kedatangan kami kemari, beliau langsung mengajak kami memasuki hutan lebih jauh. Sepanjang jalan aku seperti mengumpulkan koin-koin ketakutan. Hutan kalimantan sangatlah luas, bila tersesat sangat sulit mencari jalan keluar. Berbagai macam tumbuhan tumbuh subur disini. Banyak rumput yang lebih tinggi daripada tinggiku. Hewan-hewan lalu lalang dengan sesuka hati tanpa peduli dengan kami yang sebenarnya meminta tolong di dalam hati.

Suasana semakin mengerikan ketika Gian tanpa sengaja menginjak ekor ular. Untunglah itu tipe ular yang tidak berbisa. Anehnya, saat Gian menginjak ular itu seakan-akan hewan lain yang di dalam hutan juga merasa terganggu. Saat kami melewati pohon yang besar, di dahannya bergelantungan beberapa ekor beruk atau nama kerennya Pig-Tailed Macaque. Mereka sangat memperhatikan langkah-langkah kami. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya kami sampai juga ditempat tujuan. Tempat ini benar-benar indah. Kami terpana melihatnya.

Di tengah hutan yang semua pohonnya tumbuh tidak beraturan ternyata ada tempat seperti ini. Pohon-pohon seperti berpegangan satu sama lain membentuk lingkaran dan membiarkan di tengahnya kosong menghadap langit. Mungkinkah dulu ada UFO yang ingin membuat crop circle di sini..Tapi, tidak jadi karena si nenek memarahi. Entahlah, hanya tuhan yang tahu cerita yang sebenarnya.

Nenek itu menyuruh Egi dan Pahing menghampar tikarnya di tengah-tengah. Kemudian beliau mengeluarkan pisau dari keranjangnya. Apa yang akan dilakukan nenek ini, apakah dia ingin mengeksekusi kami di tikar yang dihampar itu? Saat mereka berdua telah mengerjakan tugasnya, si nenek ternyata membawa minuman dan makanan di dalam keranjangnya. Kami piknik di tengah-tengah hutan dan pisau yang dikeluarkan tadi digunakan untuk mengupas buah mangga.

Setelah kenyang, nenek itu menyuruh kami merebahkan diri di tikar tersebut.

“Sttt… May, kamu yakin nenek ini orang baik?” kata Dimas berbisik.
“Entahlah, ikuti saja apa katanya.”
“Nenek mohon kalian mau mendengarkan nenek dengan baik, setuju?” kata nenek itu.
“Setuju.” kata kami serempak dengan suara ragu-ragu.
“Tutuplah mata kalian sebentar. Dengarkan nenek, hilangkan semua kegelisahan kalian, hilangkan semua risau kalian. Kalian adalah anak-anak ajaib yang punya daya khayal tinggi. Di kegelapan di dalam mata kalian ada pintu imajinasi. Bukalah pintu imajinasi kalian itu” kata nenek yang duduk di atas kepalaku.
“Sekarang bukalah mata kalian perlahan-lahan dan pandanglah ke langit. Di sana ada awan yang yang menghiasi langit, bentuknya unik dan bisa berubah-ubah. Gunakanlah imajinasi kalian. Lihatlah awan di sana, bentuknya seperti ular. Menurut kalian bentuknya seperti apa?” lanjut nenek, sambil menunjuk sebuah gumpalan awan.
Belalai gajah Nek.” kata Siti.
“Lebih mirip selang.” kataku membantah.
“Lebih tepat seperti gulungan mie.” kata Gian.
“Terserah menurut imajinasi kalian, lihatlah sekarang bentuknya mulai berubah. Menurut kalian bentuk apa ini?” tanya nenek.
“Bentuknya seperti kepala sapi.” kata Dimas.
“Mungkin mobil.” kata Egi nyeletuk.
“Lebih cocok seperti bak mandi putri raja.” kata Christy.
“Salah semua, yang pas itu seperti taksi kelotok.” kata Pahing.

Kami tertawa setelah mendengar perkataan si Pahing. Kami bangkit dari tikar itu. Mata kami serasa berkunang-kunang, setelah menatap langit cukup lama.

“Bagaimana rasanya?” tanya nenek.
“Mata berkunang-kunang nek.” kata Egi.
“Memang begitulah keadaannya, nanti juga terbiasa. Sekarang kalian tahukan, awan itu bukan hanya hiasan langit yang biru. Awan itu adalah lukisan yang paling indah dan acara TV yang paling bagus. Awan bisa berubah menjadi lukisan yang kalian mau dan awan juga bisa menjadi karekter yang kalian harapkan.”
“Bagaimana caranya menonton di awan?” tanya Egi.
“Gampang, kalian tinggal tutup mata dan yakinkan hati kalian kalau kalian bisa berkhayal dan mewujudkannya lewat awan-awan ini. Kemudian bukalah mata kalian, ciptakanlah cerita yang ingin kalian buat dari awan yang terbentuk. Contohnya lihatlah awan di ujung sana, bentuknya seperti gunung kan!” kata nenek menunjuk gumpalan awan disampingnya.
“Bayangkan di sana ada anak domba kecil yang mau naik gunung itu, tapi sayangnya dia selalu terpeleset. Anak domba itu pantang menyerah, dia mencoba naik menggunakan tangga tapi sayangnya tangganya patah. Lalu datanglah induk domba tersebut, dia menggendong domba kecil di punggungnya dan menaiki gunung itu bersama-sama. Lalu bagaimana kelanjutannya coba kalian khayalkan.” ujar nenek.
“Setelah mereka di puncak gunung, mereka tidak tahu cara turun dari gunung itu.” kata Dimas.
“Iya, mereka tidak bisa turun dari gunung selama tiga hari tiga malam, mereka kehujanan dan kepanasan.” kataku menambahi.
“Kemudian anak domba itu kelaparan karena tidak makan beberapa hari.” kata Gian.
“Karena domba kecil sangat lapar, cacing-cacing di dalam perut si domba kecil menangis nyaring sekali…” kata Christy sambil menirukan gaya si cacing.
“Domba-domba yang lain terkejut mendengar suara perut domba kecil dan berlari kegunung menghampiri domba kecil dan induknya.” sambung Pahing (tumben nyambung)
“Domba-domba yang lain berbaris membentuk tangga sampai kepuncak gunung, dan akhirnya anak domba serta induknya selamat.” Kata Siti.
“Mereka semua mengadakan pesta makan karena telah berhasil menyelamatkan anak domba dan induknya. Di sana anak domba makan dengan lahapnya, maklumlah tidak makan tiga hari tiga malam.” kata Egi.
“Kalian semua anak yang cerdas, ceritanya sangat menarik. Untuk hari ini, cukup sampai disini dulu berimajinasinya. Ada pertanyaan?”
“Nek, bisa ceritakan tentang hidup nenek? kenapa nenek bisa tinggal di hutan?” tanya Christy.
“Ceritanya panjang. Dimulai saat suami nenek meninggal. Nenek merasa sendirian, anak nenek satu-satunya yang sedang kuliah di Jawa juga tak kunjung pulang. Nenek diasingkan orang-orang karena kelakuan nenek yang senang melihat keindahan awan. Akhirnya nenek memutuskan untuk membangun gubuk sederhana di hutan ini dan di samping gubuk itu sebenarnya adalah kuburan suami nenek.” cerita nenek mencoba tegar.

Aku merinding ketika tahu disamping gubuk itu adalah kuburan. Pahing dan Dimas saling berpandangan. Christy memegang erat tangan abangnya. Gian menggigit biji buah mangga yang masih muda sampai belah. Dan Siti, berpegangan erat pada tongkatnya.

“Kenapa anak nenek tidak pernah pulang sampai sekarang?” tanya Christy seperti detektif saja.

“Mungkin dia masih kecewa dengan kami. Sebenarnya dia adalah anak angkat nenek. Nenek tidak punya anak. Dia nenek angkat jadi anak semenjak lahir karena ibunya meninggal dunia saat melahirkan. Ayahnya pergi ke pulau Jawa mencari jalan hidupnya sendiri. Saat SMA nenek baru memberitahukan kalau dia adalah anak angkat. Dia marah besar saat itu. Dia berangkat ke pulau Jawa untuk kuliah sekaligus mencari ayah kandungnya. Sejak saat itu pula nenek tidak tahu kabarnya.” Kata nenek sambil menitikan air mata yang dicoba ditahannya dari tadi.
“Sudahlah nek, jangan menangis. Kalau boleh tahu siapa nama anak nenek?” tanyaku seraya memeluk nenek yang terlihat kotor itu.
“Dewi Al-Hikmah, nama yang sesuai dengan parasnya karena dia cantik seperti Dewi.”

Aku dan yang lain terdiam mendengar nama itu. Nama itu seperti nama guru kami disekolah. Ibu Dewi adalah wali kelas 6, wali kelasku. Tapi mungkin hanya nama saja yang mirip. Jadi, kami tidak terlalu memikirkan hal itu.

Pertemuan hari itu adalah pertemuan perdana kami membahas awan. Setiap sore, kami main ke gubuk itu. Setiap sore pula aku, Siti, dan Christy memandikan nenek yang berpenampilan urak-urakan agar terlihat lebih cantik 10 tahun lebih muda. Kami sudah terbiasa memandikan, menyisiri rambut panjang yang berwana putih si nenek, dan juga mengambilkan air di sungai kecil untuk persediaan walaupun sejauh 700 meter jauhnya dari gubuk nenek.  Semua itu kami lakukan dengan perasaan gembira. Bahkan kami jadikan sebagai  ajang bermain. Tidak jarang kami pulang dengan pakaian basah.

Nenek juga punya pakaian baru setelah beberapa tahun tidak pernah mengganti tiga lembar bajunya itu. Baju itu adalah baju bekasnya ibu Pahing yang kekecilan karena semakin hari ibunya si Pahing tambah subur saja. Nenek terlihat lucu memakai baju yang kebesaran karena tubuhnya yang kecil. Ditambah dengan senyuman yang menampilkan sisa-sisa giginya, tambah menggelitik perut kami saja.

Semenjak pelajaran tentang awan yang diberikan nenek, kami menjadi orang yang hidup namun sebenarnya mati. Dari pagi sampai matahari tenggelam kami berusaha mencari momen terbentuknya awan yang unik. Dari awan-awan yang terbentuk kami membuat khayalan masing-masing. Di sela-sela belajar di kelas, aku mencoba mencuri pandang melalui jendela kelas. Sungguh kuasa Tuhan yang luar biasa menciptakan awan yang bergerak dengan indahnya. Hobiku berkhayal tentang dunia lain di luar bumi. Aku sedikit tertarik dengan yang namanya alien, UFO, atau benda-benda angkasa lainnya. Khayalanku bersama awan tidak jauh-jauh dari kisah persaingan melawan UFO. Tidak jarang aku mendapat lemparan kapur karena terlampau lama melirik keluar jendela.

Sudah satu bulan dan kegilaan kami terhadap awan tidaklah berkurang malah menjadi-jadi. Saat tiba waktu istirahat kami tak menggunakan uang saku untuk jajan, begitu pula Gian yang langsung diet saat melihat awan. Berdiri di lantai dua sekolah dan hanya memandang awan menambah daftar ejekan bagi kami sendiri. Sejak saat itu kami memanggil diri kami awan lovers. Sementara itu teman-teman yang lain memanggil kami awan lovers gilaers.

Kegilaan kami terhadap awan terdengar sampai ke telinga wali kelasku. Ibu Dewi tahu semua ini atas laporan si poni ketua kelas, Dian Putra. Tidak ada habis-habisnya si poni membuat kami tersiksa. Dia adalah musuh bebuyutanku sejak pertemuan dari kelas satu. Pertemuan hari pertama kami masuk sekolah setelah lulus dari TK menjadi awal permusuhan kami. Hari pertama itu kami melakukan perkenalan dan maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri masing-masing. Pahing yang belum terbiasa tampil di depan umum terpaksa membasahi celana merahnya dengan air kencing. Dian dan teman-teman yang lain tertawa lepas. Aku dan teman-teman tidak tega melihat Pahing dipermalukan. Pahing benar-benar merasa malu dan dendam kepada Dian. Tiba saat giliran Dian maju. Aku yang duduk dibelakangnya mengikat tali sepatu sebelah kirinya ke sepatu sebelah kananya. Alhasil saat dia maju ke depan dia terjatuh dan pipi kirinya terhempas ke lantai. Hari-hari selanjutnya kami bergantian untuk saling mempermalukan.

Saat pulang sekolah kami berlima ditahan di ruang kelas kemudian Christy dan Gian masuk ke kelas kami dengan wajah yang tak jelas ekspresinya.

“Kalian bertujuh ibu dengar dari ketua kelas akhir-akhir ini gila sama awan, sampai-sampai PR kalian lupakan. Kenapa bisa begitu?”

Tak ada yang berani bersuara diantara kami.

“Maya, Egi, Siti, Pahing, dan Dimas, kalian itu sudah kelas 6. Sebentar lagi ulangan semester satu, setelah itu kalian akan disibukan persiapan ujian. Apa kalian mau tidak lulus ujian. Percuma kalian melintasi sungai setiap hari kalau kalian di sekolah hanya begini. Dimas, kamu yang selalu juara satu apa kamu mau menggantinya dengan juara satu dari belakang. Tidak mau kan?”

Dimas hanya tertunduk lesu, dia menyadari dengan kesalahannya.

“Dimas, ayo cerita. Ibu yang perintah.”
“Maaf Bu, kami hanya berimajinasi dengan awan. Kami diajari oleh nenek untuk belajar membuka imajinasi. Apa kami salah bila berimajinasi?”

Dimas menangis terisak-isak, kami yang melihat butiran-butiran air mata itu juga terhanyut dalam kesedihan. Pahing dan Gian yang juga menangis berusaha menahan ingusnya yang ingin keluar (Euyuhhh). Ibu Dewi terlihat kaget saat mendengar perkataan Dimas.

“Siapa nenek kalian?” tanya Bu Dewi.
“Nenek Jamilah, kami sangat menyayangi-nya Bu.” Kataku dengan tersedu-sedu.
“Tolong Bu, tolong jangan beri tahu orang-orang tentang nenek itu.” kata Siti sambil mengusap air matanya.
“Iya Bu, apalagi orang tua kami. Kalau sampai mereka tahu, kami tidak akan pernah bisa mengunjunginya lagi ke hutan.” kata Christy yang juga menangis
“Nenek Jamilah…” kata bu Dewi.
“Dia dulunya adalah guru juga sama seperti ibu. Suaminya sudah meninggal dan anak angkatnya yang kuliah tidak pernah lagi kembali. Keadaannya sekarang sungguh menyedihkan, dia tinggal di hutan karena diasingkan orang-orang.” kata Egi mencoba tegar.

Ibu Dewi langsung pergi meninggalkan kami setelah mendengar penjelasan Egi. Kami tak mengerti kenapa dia sampai meninggalkan kami begitu saja. Kami ceritakan kejadian ini dengan nenek. Nenek merasa bersalah mendengar kami diperlakukan begitu.

“Kalian boleh berimajinasi, tapi jangan terlalu sering. Kalian punya tugas lain yang wajib diselesaikan seperti tugas sekolah. Jangan sampai kejadian ini terulang kembali yah?”
“Iya nek…” kata kami serempak.
“Nek, tadi aku menceritakan tentang nenek ke ibu Dewi. Tapi dia malah pergi meninggalkan kami.” kata Egi.
“Siapa nama ibu guru kalian itu?”
“Sama seperti nama anak nenek.” kata Siti.
“Dewi Al-Hikmah, apa ada tahi lalat di pipi kanannya?”
“Iya nek.” teriak Pahing dengan semangatnya.
“Benar, dia adalah anak nenek.”
“Terus sekarang bagaimana Nek?” tanyaku.
“Sudahlah, jangan dipusingkan. Lebih baik kita belajar saja, sebentar lagi kalian akan menghadapi ulangan semesterkan. Buktikan kepada guru itu, kalau kalian bukan hanya sekedar menghayal. Buktikan kalau kalian malah menjadi baik dari sebelumnya.”

Kami memeluk nenek setelah mendengar ucapannya itu. Dia sungguh orang yang tabah. Esoknya kami mulai belajar semua mata pelajaran, bila ada kesulitan kami bertanya dengannya dan beliau menjelaskan dengan tabah dan tentunya penjelasan yang berbeda dari yang lain (imajinasi). Selain itu kami mulai dikenalkan nenek tentang semua jenis tumbuhan, mengenal jenis-jenis hewan, belajar cara bertahan hidup di hutan dan menanam jenis-jenis rempah.

Kami diajarkan cara mengenali ular yang berbisa dan tidak berbisa, diajarkan cara membedakan tumbuhan yang berbahaya dan tidak berbahaya, dan yang paling kusuka beliau mengajarkan cara berteman dengan hewan hutan.

Hampir tak bisa diterima otakku karena beliau bisa memanggil monyet-monyet liar hanya dengan meniru suara monyet, sedikit bersiul memanggil burung-burung dan memukul beberapa kali batang pohon maka turunlah seekor kokol borneo sejenis tupai. Yang paling aneh adalah beliau terlihat akrab sekali dengan seekor ular phyton yang lumayan besar, padahal ular yang kepalanya sebesar kepalan tangan orang dewasa katanya bisa memangsa manusia. Beliau mengajak kami berkenalan dengan ular itu. Katanya sebelum kami datang teman sehari-harinya adalah ular itu. Katanya juga, setiap malam akan ada kucing merah, salah satu hewan endemik kalimantan yang berkunjung ke gubuknya. Padahal kucing merah tergolong hewan yang buas.

Nenek ini manusia atau bukan, pantasan banyak orang bilang dia nenek lampir. Tapi tidak apa-apa lah dia nenek lampirku sayang. Karenanya aku bisa menguasai yang namanya matematika. Dulu aku sangat tidak suka pada pelajaran matematika, apalagi saatku kelas 5. Saat kelas 5 wali kelasku ibu Ita Kumala. Setiap giliran maju mengerjakan matematika pasti aku yang disuruh mengerjakan semua itu. Aku jarang sekali berhasil mengerjakan semua itu, akhirnya telingaku adalah sasaran yang empuk untuk dijewer. Sejak kejadian itu aku paling malas mengenal yang namanya matematika, setiap ada PR aku serahkan kepada Dimas. Dimas terkadang marah kepadaku, tapi cukup dengan rayuan manjaku dia sudah menurut denganku. Dia tipe pria yang gampang luluh terhadap wanita. Karena saking banyaknya permintaan nyontek dariku, dia akhirnya memiliki sebuah kaca mata minus di usia yang masih terbilang muda.

Saat aku mengalami krisis percaya diri terhadap matematika untunglah aku bertemu nenek, beliau mengajarkan cara matematika yang gila dan membuat aku gila terhadap matematika.

“Sebulan lagi kalian akan ulangan, apa kalian siap?” tanya nenek.
“Siap nek.” kata beberapa teman lainnya.
Aku dan Pahing tak berani bilang siap, karena sebenarnya kami punya masalah.
“Maya, Pahing, kenapa diam. Coba cerita apa masalahnya?”
“Sejujurnya aku belum siap nek, karena semua mata pelajaran sebenarnya tak ada yang siap untuk aku pelajari, dan semuanya memang tak siap nek.” kata Pahing dengan berani.
“Kamu kenapa, Maya?” tanya nenek.
“Matematika nek, tak sanggup otakku memahaminya.”

Nenek mengambil tongkatnya dan memberi isyarat kepada kami untuk mengikutinya. Aku dan Pahing mengiringinya dari belakang. Kami diajak masuk ke dalam hutan ke arah selatan, hutan di sebelah selatan sama sekali belum pernah dijamah orang. Hutan ini sungguhlah lebat. Aku teringat cerita Bang Usup, katanya di situ pernah akan di loging tapi ada seekor ular besar seperti naga yang menjaga tempat itu. Hutan itu diberi nama Rakuna karena ada pasangan kekasih yang bernama Raka dan Luna, tewas di tempat itu. Sejak tewasnya pasangan itu, hutan itu terkenal angker. Semakin ke dalam aku semakin takut, kalau aku dan Pahing tewas dimangsa naga di hutan ini, pasti namanya akan berganti nama menjadi hutan Pamay, hutan Pahing dan Maya. Itukan tidak eksotis jadinya.

Akirnnya kami sampai juga di tempat yang di tuju. Di hadapanku ada sebuah pohon yang tumbuh tinggi besar dan di sampingnya ada sebuah tunas pohon. Ternyata dari tadi kami berkeliling hutan hanya untuk mencari pohon yang berbeda secara fisik itu.

“Lihatlah, pohon besar ini, perhatikan baik-baik.” kata nenek.

Aku dan Pahing menengadah ke atas langit mencari ujung pohon yang besar itu. Dilihat dari bawah seakan pohon itu menyentuh langit dan menembus angkasa.

“Sekarang lihatlah pohon yang disamping kirinya itu.”

Pohon itu seperti tak bernyawa berada di samping pohon besar dan tinggi itu. Sekali tendang, mungkin pohon itu akan terlepas sampai ke akar-akarnya.

“Dulu pohon besar yang kalian lihat sekarang sama seperti di sampingnya. Semua itu bisa terjadi karena kegigihannya melawan angin, menantang hujan badai, dan bersaing dengan pohon-pohon lain untuk bisa bertahan hidup. Posisi kalian sekarang seperti pohon kecil itu, kalian merasa tak berarti di samping pohon yang lebih besar. Sekarang cobalah belajar menjadi pohon yang besar itu, belajar dari masa kecilnya yang kuat.” kata nenek melanjutkan.
“Bagaimana caranya nek?” tanya Pahing.
“Berusahalah, berusaha untuk merubah adalah cara satu-satunya.”
“Walaupun kita punya kekurangan?” kataku.
Yah, walaupun kita punya kekurangan sekalipun. Seperti Albert Einstein, kalian harus belajar dari cara hidupnya. Albert Einstein adalah manusia abad 20 yang paling besar jasanya. Dia terkenal dengan teori relativitas umum dan teori relativitas khususnya. Di waktu kecil dia terlambat bisa bebicara dan dia pernah disebut sebagai pelajar yang lambat karena kemungkinan disebabkan oleh Dyslexia dan sifat pemalunya. Namun sebenarnya dia menyimpan sebuah permata kehidupan yang sebenarnya di dalam otaknya.

Mata Pahing berbinar-binar, aku merasakan degup jantung penuh semangatnya. Semangatku pun terpacu seakan tak mau kalah dengan Pahing.

“Kalian harus tahu, kalau orang yang pintar itu tidak akan selalu menjadi yang nomer satu. Em, matematika itu hanya kumpulan dari angka-angka, mereka butuh kamu untuk diselesaikan. Anggaplah matematika suatu permainan, jika kamu berhasil mendapatkan hasilnya, itu adalah hadiah bagi kerja kerasmu” ujar nenek seraya mengelus rambutku.

“Dan kamu, Pahing. Semua mata pelajaran adalah suatu ilmu yang luar biasa, saat kamu membuka buku anggaplah ada banyak kumpulan semut hitam yang membuat formasi menjadi tulisan, mereka butuh kamu untuk mengerti maksud dari formasi mereka.” kata nenek sambil menepukkan tangan kananya ke pundak Pahing.

Kami berdua memeluk nenek erat. Kemudian beliau menanyakan hal apa yang paling kami sukai.

“Aku hobi menulis puisi nek. Di kamarku penuh dengan lembaran puisi karyaku.” kataku sombong.
“Oh, yah? Nenek ingin sekali baca puisimu itu. Nanti kalau ada waktu bacakan puisi itu di depan nenek yah..” pinta nenek.
“Oke, nek. Aku ingin menjadi penerus Chairil Anwar menjadi seorang penulis puisi paling fenomenal.”
“Kalau kamu Pahing hobinya apa?” tanya nenek pada Pahing yang masih termenung.

Pahing langsung berlari meninggalkan kami, dia berlari pulang. Aku sempat bingung dengannya yang pulang tanpa pamit. Aku mengira kepergian Pahing dikarenakan dia tidak punya hobi yang memiliki nilai plus.

“May, Pahing berlari pulang karena ingin menjemput impiannya. Pulanglah kamu, jemput impianmu. Jangan kalah bersaing dengan Pahing.”

Aku baru mengerti sekarang, ternyata dia ingin secepatnya menemui semut-semut hitam itu. Aku berusaha mengejar Pahing menembus hutan. Aku juga ingin berhasil seperti Einstein.

“Pahing… tunggu, kamu curang lari duluan.” teriakku.
“May, aku ingin seperti Einsten. Akan kubuktikan pada Dian, kalau aku bisa mengalahkannya.” teriak Pahing yang berlari jauh di depanku dengan tawa khasnya.

Pahing memang masih menyimpan dendam kepada Dian si poni. Kami berlari secepatnya meninggalkan hutan dan melewati teman-teman yang lain di rumah main. Wajah mereka bingung melihat kami yang berlari melintas di hadapan mereka begitu saja.

“Eh, kalian masih di sini. Cepat pulang, buka buku kalian, belajar yang giat dan saling bersaing mendapatkan nilai yang baik. Datanglah kesini satu bulan lagi. Pulanglah, jangan kalah dengan Pahing dan Maya.” teriak nenek.

Teman-teman yang lainpun bergegas pulang, mereka juga merasakan persaing di antara kami semua. Satu bulan lamanya kami bersaing, tidak ada permainan, tidak terlalu banyak percakapan, dan tidak saling menjatuhkan. Saat ulangan berlangsung, kami mengerahkan semua kemampuan kami, yang jelas kami berusaha untuk melakukan yang terbaik. Semua orang pasti punya impian dan impian itu pastilah ingin tercapai. Tapi impian itu tidak bisa tercapai kalau kita tidak berusaha. Pesan nenek menjadi suatu tongkat semangat kami. Beliau pernah berpesan, jadilah monyet yang lapar akan pisang, jadilah burung yang gatal bila tidak terbang, dan jadilah gelas yang selalu haus. Maksud dari semua itu adalah kami harus selalu lapar, gatal, dan haus bila tanpa ilmu.

Saat hari pembagian raport tiba, kami berharap-harap cemas ria. Dimas yang biasanya juara satu menampakan wajah yang kurang yakin. Siti dan Egi yang biasanya berebut juara 9 dan 8 juga menampakan wajah yang kurang yakin. Aku yang biasanya stay juara 15 juga merasa kurang yakin. Sedangkan Pahing yang biasanya menduduki juara 32 dari 38 siswa, menampakan wajahnya yang sumringah, dia benar-benar optimis kalau semester ini adalah semester kebangkitannya. Di kelas sebelah, Gian dan Christy menampakkan wajah biasa saja. Mungkin karena mereka masih kelas 5, jadi mereka menganggap ini masih biasa.

Saat juara kelas diumumkan, ternyata Dimas masih menduduki juara satu, nilainya beda tipis dengan Dian. Siti juara 8 dan Egi juara 9, mereka selalu berebut angka itu tiap tahunnya. Aku berhasil naik menjadi juara 7, ibuku sampai mengucap mantra berbahasa Kumainya karena keberhasilan anaknya. Nilai yang paling aku sukai adalah nilai hasil ulangan matematika, walaupun masih dibawah nilai pelajaran bahasa indonesia. Tidak sia-sia aku belajar mengotak-atik angka, benar kata nenek kalau matematika adalah susunan dari angka-angka yang harus diselesaikan, dan jangan pernah menganggap kalau matematika itu susah.

Yang paling mengejutkan, Pahing. Nilainya naik secara drastis, dia berhasil juara 10. Walaupun dia mendapat juara yang paling rendah di antara kami, tapi usahanya itu sungguh sangat berarti dari yang biasanya 32 bisa naik ke 10, sungguh prestasi yang membanggakan bagi Pahing.

Bertemu Kembali

Di halaman sekolah setelah pembagian raport. Terlihat Pahing yang sedang menyendiri di depan perpustakaan.

“Pahing… kenapa sedih?” tanya Dimas.

“Kamu kan sudah berhasil juara 10, itu sangat bagus sekali.” kata Siti membujuk.

“Aku masih kalah sama si poni, padahal aku merasa aku akan berhasil.” kata Pahing tertunduk lesu.

“Abangkan nanti masih bisa membalasnya, abang bisa tunjukan nilai ujian abang nanti bagus.” kata Christy meyakinkan.

“Iya juga, yah.. Pertarungan ini belum berakhir dan aku belum kalah.” kata Pahing sambil menatap langit seakan telah berjanji kepada langit.

“Ka Maya sama ka Egi kemana yah, sebentar lagi kita akan pulang.” kata Gian gelisah.

Aku dan Egi sengaja memisahkan diri dari kelompok, kami pergi ke ruangan ibu Dewi. Kami ingin tahu kepastian tentang nenek Jamilah. Teganya seorang anak yang membiarkan orang tuanya tinggal di hutan sendirian, walaupun dia anak angkat seharusnya dia punya hati karena berkat nenek Jamilah lah dia bisa tumbuh besar. Sesampainya di ruang kantor para guru ternyata beliau tidak ada, setelah kami cek di kelas, beliau terlihat tertunduk lesu. Beliau menatap daftar juara kelas kami, wajahnya menggambarkan suatu penyesalan.

“Assalamualaikum, Bu.” kataku memberanikan diri.

“Walaikumsalam, sini masuk.”

“Ibu sakit, ya? Kenapa terlihat lesu?” tanyaku basa-basi.

“Enggak, ibu hanya menyesali perbuatan ibu kemarin. Ternyata awan kalian hebat, yah. Kalian semua bisa masuk 10 besar.”

“Begitulah cara belajar yang hebat dari guru yang hebat pula.” kataku mulai masuk ke topik yang sebenarnya.

“Nenek Jamilah bukanlah seorang mantan guru atau bekas guru. Dia lebih dari seorang guru dan dia juga bukanlah seorang pensiunan guru yang biasa. Bagi kami dia adalah guru, nenek, dan permata hidup kami.” kata Egi sambil melirik tangannya yang penuh contekan kata-kata yang diucapkannya.

“Kalian benar, ibu adalah anak durhaka. Ibu tidak tahu cara memohon maaf kepadanya. Ibu mengaku bersalah, ibu mengaku berdosa.” kata bu Dewi sambil menangis.

“Masih ada waktu untuk ibu meminta maaf. Ikutlah dengan kami Bu, nenek pasti akan memaafkan ibu. Dia benar-benar rindu kepada ibu.” kataku meyakinkan.

Setelah berhasil membujuk bu Dewi, kami pulang ke mess. Aku dan yang lain bahagia sekali bisa mengajak ibu Dewi ke rumah main. Egi dan Pahing pergi ke hutan menjemput nenek. Tidak berapa lama Egi dan Pahing datang kembali dengan tergesa-gesa. Mereka bilang kalau nenek tidak ada di gubuk. Kamipun berhamburan masuk ke hutan mencari nenek. Tapi sayangnya kami tak berhasil menemukannya.

“Kira-kira nenek pergi kemana yah?” tanya Christy kepadaku.

Aku berpikir sejenak, kalau di sekitar hutan ini beliau tidak ada. Berarti nenek pasti pergi ke hutan Rakuna.

“Hutan Rakuna, aku yakin di hutan rakuna.” kataku mantap.

“Hutan rakuna, itu hutan yang angker.” kata Egi.

“Sepertinya memang di hutan Rakuna. Dulu aku dan Emay pernah diajak masuk hutan itu.” kata Pahing memantapkan.

Kami semua terdiam, di antara kami tak ada yang menguasai medan hutan itu. Apalagi tanpa bimbingan nenek, kami akan tersesat.

“Kalian berduakan pernah masuk hutan itu, masih ingatkan?” tanya ibu Dewi.

“Sedikit, tapi itukan karena ada nenek.” kataku.

“Ayo, kawan-kawan. Kitakan awan lovers. Kita harus berani bertindak seperti awan yang berani mengubah bentuknya menjadi bentuk yang indah lainnya.” kata Pahing mantap.

Karena melihat semangat yang dikeluarkan Pahing, kamipun mencoba memberanikan diri masuk hutan rakuna tanpa perbekalan. Berbeda rasanya saat aku masuk hutan itu bersama nenek. Saat aku masuk hutan ini bersama nenek, rasanya semua pohon bersahabat denganku. Tapi saat aku masuk hutan ini untuk kedua kalinya, terlihat pohon-pohon menaruh dendam padaku. Rantingnya terlihat seperti kuku panjang yang siap menerkam. Lebatnya hutan seakan ingin melahap kami. Kami berteriak memanggil nenek, tapi rasanya semua usaha kami sia-sia. Suara kami seperti diredam oleh rerumputan.

“Hing, bagaimana nih. Kamu masih ingat tidak?” kataku sambil berbisik.

“Sedikit, May. Yang aku ingat sebelum kita masuk ke tempat pohon besar dan pohon kecil itu ada dua buah pohon besar yang menyambut kita di depan.” Jawab Pahing, juga sambil berbisik.

“Aku juga ingat itu, tapi di mana dua pohon besar itu sekarang.”

Tiba-tiba saja, rumput yang menjulang tinggi di sampingku bergerak. Rasanya itu bukanlah hewan kecil yang bisa menggerakan rumput dengan kuat. Kami semua saling berpandangan memberikan isyarat untuk berlari. Kami semua berlari lurus tak tentu arah. Pahing berteriak melihat dua buah pohon besar sebagai pintu penyelamat kami. Saat tiba di tengah hutan, benar dugaanku kalau nenek ada disitu. Dia sedang tertidur di atas tikar yang dibawanya dan disampingnya ada sebuah keranjang kosong.

“Assalamualaikum, Nek. Bangun, Nek. Kami membawa kejutan untuk nenek.” bisikku ditelinga nenek.

Nenek terbangun dari tidurnya yang lelap. Aku diselimuti rasa bersalah karena telah membangunkan orang tua yang sedang nyenyak tidur.

“Waalaikumsalam” kata nenek sambil menggosok matanya.

Saat matanya benar-benar terbuka, dia terkejut saat melihat sesosok wanita berkerudung yang cantik duduk di hadapannya. Tangannya yang keriput mencoba memegang wajah yang mulus itu. Butiran air mata menetes di pipi ibu Dewi. Dengan keriputnya itu, nenek menghapus air mata itu. Sekian lama dua beranak itu tidak bertemu, akhirnya mereka bisa bertemu disaksikan oleh jutaan pohon di sekelilingnya. Mereka berdua saling berpelukan melepas rindu. Kami yang melihat kejadian itu juga masuk dalam keharuan. Aku tak bisa membayangkan kalau hal ini terjadi padaku.

“Bu, ayo kita pulang bu, kita pulang ke rumahku.” ajak Bu Dewi.

“Ibu tidak bisa ikut kamu, di sini ada cucu ibu yang masih harus diurus.” kata nenek.

“Nek, nenek pulang saja. Nenek tinggal di hutan ini tidak ada yang mengurus. Biarlah kami mengurus diri kami masing-masing.” bujuk Siti.

“Tidak bisa, nenek masih punya tanggung jawab dengan hutan ini. Nenek tahu pribadi kalian, masih banyak yang perlu nenek lakukan untuk mengubah pandangan kalian.”

Kami tidak bisa membujuknya. Orang tua memang punya prinsip yang sangat kuat dan tidak bisa diganggu gugat. Selama liburan ini, ibu Dewi sering ke gubuk menemui nenek. Begitu juga kami yang tak mau kalah, kami setiap hari bermain ke gubuk tua nenek. Berbagai bentuk awan sudah kami imajinasikan bersamanya.

*****
Bersambung ke Sahabat Awan Bagian 6

In

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *