Mengenal Lukisan Karya-Nya
Angkasa raya terbentuk dari jutaan tahun yang lalu. Berbagai partikel, zat, dan atom, membentuk suatu kombinasi dengan kualitas seni yang tinggi.
Dari semua kombinasi itu terbentuklah bulan, bintang, matahari, dan planet-planet. Tak ada yang pernah tahu bagaimana cara membuatnya. Sungguh agung kekuasaan Tuhan menciptakan segala-galanya.
Bumi adalah salah satu anugerah Tuhan yang terindah. Di dalamnya tercipta suatu keharmonisan bagai lukisan. Manusia, hewan, dan tumbuhan hidup secara berdampingan. Berbagai jenis ras, suku, bangsa, dan agama menjadi warna dasarnya. Manusia sebagai kuas kehidupannya sendiri. Berbagai sifat dan prilaku menjadi objek-Nya.
Saat aku masih duduk di kelas 3 SD, aku pernah bermain dengan bola dunia di ruang perpustakaan. Katanya bumi kita ini bulat seperti bola, aku sempat tidak percaya dengan hal ini. Berjuta pertanyaan hadir di benakku. Kalau memang benar bumi ini bulat, kenapa kita tidak terjungkir balik?. Kenapa air di laut tidak tumpah? Dan kenapa kita berjalan lurus-lurus saja? Padahal itu melanggar gaya gravitasi. Karena hal itu, aku tidak mempercayai para astronot. Mungkin saja mereka itu berbohong kepada kita yang belum pernah melihatnya. Di dalam khayalku, bumi ini berbentuk sajadah panjang yang membentang, hingga tak tau tepinya.
Sejak itu pula aku bercita-cita untuk menjadi seorang astronot. Aku ingin sekali melihat bentuk bumi dengan mata kepalaku sendiri agar aku bisa mempercayainya. Aku menceritakan cita-cita ajaibku ini kepada semua kawan di sekolah, dan mereka malah menganggap aku gila dan tak tau diri. Bahkan saat aku mendapat giliran maju ke depan kelas untuk bercerita cita-cita masa depan, guruku malah menyangka aku sakit dan disuruh pulang untuk beristirahat. Sejak itulah aku melupakan cita-cita itu dan mulai pencarian cita-cita baru.
Dari luasnya angkasa, turun ke bumi, dan sekarang kita turun lagi ke negeri tercinta Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, penduduknya kurang lebih 350 etnis suku dengan 483 bahasa dan budaya yang beraneka ragam. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi panutan. Di negeri inilah aku dilahirkan, di negeri inilah aku mendapatkan status WNI.
Kita coba turun lagi ke kepulauan Kalimantan. Kalimantan terkenal dengan sebutan pulau seribu kali, semua itu dikarenakan banyaknya anak sungai yang menjalar di sepanjang pulau Kalimantan. Karena terlalu banyaknya sumber air dari sungai-sungai itu, masyarakatnya banyak yang menganggap enteng pentingnya menjaga sungai. Pagi hari, para ibu mencuci pakaian dan membiarkan larutan kimia mengalir mengikuti arus., mereka tidak menyadari anak-anaknya yang ingin berangkat sekolah menyikat gigi dan berkumur dengan air itu. Agak siang setelah sarapan, bagi orang-orang yang terpanggil oleh alam membuang tinjanya di sungai itu juga. Setelah makan, para ibu rumah tangga mencuci piring di sungai itu juga. Bahkan, ada ibu rumah tangga yang memasak air untuk diminum pakai air itu juga. Tubuh ini pun basah oleh air itu juga.
Kita turun lagi masuk ke dalam salah satu provinsi di Kalimantan. Kalimantan Tengah atau bisa disingkat dengan Kalteng. Provinsi Kalteng adalah wilayah provinsi terluas ketiga setelah provinsi Kaltim dan Papua. Luas wilayah Kalteng sendiri 1,5 kali luas Pulau Jawa. Dengan ibukota Palangkaraya dan luas wilayah 157.983 km2 mencakup 13 kabupaten dan 1 kota (data tahun 2006).
Kita zoom lagi ke pemerintahan tingkat 2 atau kabupaten Kotawaringin Barat, atau lebih tepatnya Kumai. Di Kumai inilah pertama kalinya aku melihat dunia. Di sinilah aku lahir, pergi, dan kembali lagi. Kota kecil dengan panorama indah dan memiliki sebuah pelabuhan kecil yang berada di tepi sungai Kumai, menjadi tempat singgah berbagai jenis kapal. Dengan iklim tanah tropis, menjadikan tempat ini sebagai tempat tinggal orangutan. Kera besar Asia yang hidup berdampingan dengan berbagai flora dan fauna lainnya membentuk ekosistem hutan hujan tropis sejati di sini.
Kumai adalah sebuah kota kecamatan, di mana masyarakatnya sedikit demi sedikit mulai melupakan tradisi. Hanya para orang tua yang sudah lanjutlah yang punya banyak cerita tentang asyiknya tradisi. Nenekku sering bercerita tentang tradisi Bebarsih Banua, di mana orang-orang turun ke laut dan saling lempar ketupat. Perayaan 1 Muharam di mana orang-orang membaca selawat di dalam mobil bak berkeliling kampung dan para penontonnya melempar permen, ketupat, atau sesuatu yang manis lainnya dengan berharap rezekinya satu tahun ke depan juga manis seperti pemberiannya. Bahkan pawai Tanglong yang memiliki banyak pengemar juga hilang ditelan zaman.
Selain itu, Kumai juga punya spa yang diajarkan turun temurun. Seperti betimung yang bisa dibilang sauna ala Kumai dengan peralatan serba tradisional. Wadak, lulur ala Kumai. Dan pupur dingin, masker ala Kumai. Pada dasarnya semua itu dilakukan untuk setiap pasangan yang akan menikah agar terlihat lebih cantik atau tampan. Untuk kami yang belum waktunya menikah, bisa ikut sekadar mempercantik diri. Tapi bersiaplah harus menanggung risiko dari kicauan para ibu-ibu. Mereka akan bilang “Sudah kebelet kawin kah?” Itulah pertanyaan yang akan kami terima saat melakukan spa tersebut. Suatu ketika aku pernah iseng menjawab “Iya, mungkin tidak lama lagi,” Pernyataan itu ternyata terbawa angin, menilisik telinga, dan tercantum keras di otak Uma. Dengan sigap Uma menarik tanganku dan mengurungku di dalam WC seharian. Tidak makan, hanya minum air keran yang tidak higienis. Hal itu terjadi saat aku duduk di bangku SMP.
Tradisi yang paling membuat aku bingung adalah tradisi Tampung Tawar. Di kota, mungkin yang namanya belajar pakai motor atau mobil itu sudah biasa. Tapi di sini, setiap orang yang berhasil mengendarai motor atau mobil setelah cukup lama belajar harus dirayakan. Tidak dirayakan besar-besaran, hanya mengundang beberapa keluarga dan seorang sesepuh untuk berdoa. Sesepuh akan mencipratkan air yang telah diberi mantra kepada pelatihnya, kepada orang yang menjalaninya, dan tidak lupa kendaraannya. Anehnya, kalau kita mengalami kecelakaan, proses tersebut harus diulangi sekali lagi. Tapi hal ini sudah jarang dilakukan. Hanya nenekku yang masih memegang teguh tradisi ini. Jadi, setiap kali aku jatuh dalam mengendarai motor, aku tak ingin ada keluarga yang tahu.
Yang lebih aku tidak mengerti lagi bahwa disini yang namanya kepuhunan merajalela. Kepuhunan adalah kecelakaan yang terjadi karena belum makan atau belum sempat mencicipi masakan. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi. Misalnya ada anak yang bergegas berangkat sekolah, tapi belum sempat sarapan, anak itu diwajibkan untuk secuil saja memegang nasi. Diharapkan agar tidak terjadi apa-apa saat diperjalanan nanti. Sungguh aneh tapi nyata.
Masa Kecil yang Tersisa
Sedikit bercerita tentang masa remaja yang sebagian besar aku lalui di Kumai. Kelas 1 SMP awal aku bersekolah di Kumai, sewaktu pertama kali masuk sekolah aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang membuatku stres berat. Teringat pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah baruku, sungguh asing dan aneh. Orang-orang baru berhamburan kesana-kemari, wajah-wajah mereka begitu asing membayangi mata. Beberapa pasang mata bahkan berkeliaran memandangiku, mencari tahu siapa gerangan diriku. Aku merasa terasingkan di tempat kelahiranku sendiri. Uma yang kemudian meminta izin untuk meninggalkanku di sekolah itu, membuatku merasa terhunus oleh sebilah pedang. Aku menangis sejadi-jadinya, membiarkan seluruh pasang mata yang ada di sekolah itu memandangiku. Aku bahkan tak menghiraukan uluran tangan guru baruku. Yang aku tahu, aku ingin pergi jauh dari sekolah ini.
Hingga beberapa saat dua orang perempuan yang telah aku ketahui adalah teman sekelasku menghampiriku dan mengajakku masuk kelas bersama-sama. Perlahan aku mulai luluh, itulah awal hari baru, lembaran baru yang sebenarnya tidak pernah ingin aku tulis namun telah digariskan. Begitu aneh hidup ini, penuh teka-teki, tak bisa mengira apa yang akan terjadi lima menit kemudian.
Ekonomi keluarga kami masih belum bisa membaik sepulang kami dari Sampit. Untuk membantu ekonomi keluarga, pagi-pagi buta aku harus berjualan kue, dan sore hari jika ayahku yang seorang nelayan datang aku mengantarkan udang hasil tangkapannya kepada penampung. Uang yang didapatkan lumayan untuk uang jajanku.
Pertama kali berjualan kue, hatiku sebenarnya agak kurang menerima. Namun di lubuk hati yang paling dalam, aku perlu melakukan pekerjaan ini untuk meringankan ekonomi keluarga. Jam setengah 5 subuh aku sudah harus bangun, aku buru-buru mandi. Kemudian berjalan membawa satu keranjang kue yang aku junjung di atas kepala. Aku berjalan sambil berteriak lantang “kuueee,” ke sekeliling kampung. Pelanggan pertamaku datang, seorang nenek yang pulang dari salat subuh mengajakku ke rumahnya, dia membeli beberapa kue, dan yang membuat aku bahagia adalah ketika dia bilang besok aku harus datang ke tempatnya lagi. Hari pertama itu aku lalui dengan sangat baik, aku menemukan beberapa pelanggan. Jualanku tersisa beberapa potong kue saja, namun karena aku harus bersekolah, aku terpaksa harus berhenti berjualan dan pulang ke rumah untuk bersiap sekolah.
Keesokan harinya aku selalu menghampiri rumah-rumah pelanggan yang pernah membeli kueku. Aku berteriak senyaring-nyaringnya di depan rumah mereka, hingga membuat beberapa dari mereka ada yang keluar dari rumahnya hanya untuk membeli satu kue sabagai tanda kasihan saja padaku. Namun, ada juga yang memang menungguku kedatanganku. Aku selalu hadir tak terkira di pagi buta, seperti hantu yang menunggu di depan pintu, berteriak-teriak memecah sepi, sebagai alarm bagi sebagian orang. Beberapa rumah ada yang sengaja aku lewati, karena aku tahu itu adalah rumah temanku. Bagi anak yang berumur 13 tahun sepertiku, aku dihantui rasa malu yang luar biasa dihadapan teman-temanku sendiri. Aku begitu takut mereka melihat diriku yang begitu payah. Aku takut mereka nantinya menjauhi diriku.
Begitu pula saat aku mengantar udang ke penampung. Aku harus mengayuh sepedaku membawa berkilo-kilo udang yang diletakkan di kursi belakang sepeda dan sebagian diletakkan di keranjang sepeda. Begitu berat kurasakan, namun aku harus berusaha bahagia dengan keadaan yang ada. Perjalanan yang aku tempuh mengharuskanku melewati beberapa rumah temanku yang cukup kaya, aku harus mengayuh sepedaku secepat mugkin saatku melewati rumah mereka. Kenangan yang begitu lirih adalah saat-saatku terjatuh dari sepeda, aku harus memungut udang-udang yang terjatuh itu dan mengangkat keranjang udang itu ke atas sepedaku. Jembatan kayu yang melengkung ke atas itu adalah musuh beratku saatku harus mengantar udang. Aku harus mengayuh sekuat tenaga menaikinya dan beristigfar sebanyak mungkin saat menuruninya.
Pengalaman-pengalaman di masa menjelang remaja yang begitu sulit untuk aku lupakan, begitu indah dan penuh makna. Bahkan ayahku begitu manis saat-saat seperti itu. Aku yang saat itu sedang asyik bercanda pada waktu jam istirahat dengan beberapa teman dikejutkan dengan kedatangan salah satu temanku yang bilang bahwa ayahku datang. Aku yang merasa agak heran dengan perkataan itu pergi berlari ke gerbang sekolah, diiringi dengan teman-temanku yang selalu ingin tahu segalanya. Benar sekali, ayah ada di depan gerbang, beliau menyuruhku mengambil tas sekolahku di dalam kelas. Dengan polos tanpa bertanya-tanya lagi aku pergi berlari memasuki kelas mengambil tas kesayanganku itu masih dengan diiringi teman-temanku. Saat aku tiba kembali di depan gerbang, ayah ternyata memasangkan sebuah gantungan tas yang berbentuk boneka kayu pinokio. Begitu manis kurasakan, teman-teman yang sedari tadi selalu mengikuti kini merasa iri dengan kehadiran ayahku. Mereka menyentuh beberapa kali gantungan tas itu. Untuk pertama kalinya aku merasa menang di hadapan teman-temanku.
Arti Sahabat
Pelan kurasakan perubahan umurku, waktu berlalu dengan terisi penuh. Penuh dengan cerita suka dan duka. Hal-hal yang membuat semuanya terisi penuh adalah sahabat. Sejujurnya aku tidak pernah mengerti sahabat. Tak bisa membedakan teman dekat dan sahabat. Semuanya terasa sama, sulit untuk dibedakan.
Dengan berbagai cara berteman yang aku pelajari semasa SD, akhirnya aku bisa menemukan teman-teman akrab. Semenjak SMP aku mulai memiliki kelompok berteman. Memang terasa nyaman jika berkelompok. Aku merasa terlindungi, tidak merasa terasingkan, punya sandaran, punya tempat berbagi, dan punya status. Kelompok itulah yang aku sebut sahabat.
Selama di SMP, aku punya 6 orang sahabat. Merekalah yang mengajariku berbagai macam perjalanan hidup remaja. Sore kami selalu dipenuhi canda tawa. Tak terhitung berapa banyak waktu kami habiskan bersama. Sebelumnya aku belum pernah menduga akan bertemu dengan mereka. Saat itu aku merasa di atas awan. Mereka adalah pilihan utamaku untuk semangat sekolah. Aku selalu berdoa pada Tuhan, jangan pernah melepaskanku dari keenam sahabatku ini. Saat malam tiba, aku selalu mengenang apa yang telah tercetak dalam sejarah waktu hari ini. Gambaran sahabat-sahabatku selalu muncul, kusebut satu persatu nama mereka agar mereka selalu terukir di hatiku.
Kemudian saat di SMA aku mulai menjauh dari keenam sahabatku itu, karena kami bertujuh berbeda-beda sekolah. Aku mulai stres seperti saat pertama kali aku masuk SD di kota ini. Aku mulai mencari-cari teman yang bisa aku andalkan. Seiring waktu aku punya empat orang teman baru, merekalah yang menemani hari-hariku selama di SMA kelas X sampai dengan kelas XI. Namun ketika kelas XII aku mulai tak terkendali, aku mulai menjauhi teman-teman yang aku kenal saat pertama kali masuk SMA. Aku menemukan orang-orang baru yang aku pikir dapat menerima diriku, aku menemukan empat orang baru sebagai pengganti empat orang temanku yang lama. Merekalah yang tetap setia menemaniku hingga aku lulus SMA dan hingga aku bekerja sekarang.
Begitulah perjalanan persahabatan yang aku lalui. Hingga sekarang aku tidak pernah mengetahui apa itu arti sahabat, apa bedanya sahabat dan teman dekat. Yang aku ketahui bahwa sahabat itu adalah salah satu bumbu yang tercampur dalam adonan kepribadianku.
Persahabatan yang murni, yaitu persahabatan yang pernah aku rasakan sewaktu masa kecil yang aku habiskan di kota Sampit, di suatu mess perusahaan kayu yang telah lapuk tak terurus dan terancam pailit.
Membuka Memori Beberapa Tahun Silam
Telah aku maafkan semua kesalahanmu, asal kau mau berjanji tidak mengulangnya lagi. Telah aku terima sakitnya dikhianati, sedalam cintaku ini, selama hidupku ini. Hatiku cuma ada satu sudah untuk mencintaimu.
Itulah nada dering dari ponsel super bulukku. Lagu “Cinta Cuma Satu” dari Nindy itu sesuai sekali dengan keadaan cintaku saat ini. Saat telepon itu berdering, aku sedang berada di tempat yang mungkin menurut beberapa temanku itu tidak wajar. Mereka berhak menilaiku tidak wajar, kebanyakan dari temanku melanjutkan kuliah ke tempat yang mereka sukai dengan dana yang memadai. Sedangkan aku harus berjuang bekerja di salah satu toko sembako paling apek di kota Kecamatan Kumai. Sebenarnya aku juga menjalani kuliah dan pekerjaan ini adalah sampingan untuk mendapatkan dana tambahan.
Bu Nia adalah bosku yang sangar, tubuhnya yang besar membuat sebagian toko tampak sesak. Daster adalah pakaian andalannya, pekerjaannya hanya duduk dan memerintah diriku yang penuh dengan peluh ini.
“Halo… Dengan siapa, dimana?”
“Hai, May. Sudah lupa dengan suaraku ini?” kata seseorang di ujung telpon sana.
Aku diam sejenak mengingat suaranya, saat dia bilang “suara” ada yang aneh dengan kata itu saat dia mengucapkannya. Ya, dia Dian Putra teman sekelasku ketika SD di kota Sampit dulu. Yang paling aku kenal dan aku rindu saat dia bilang kata-kata yang memuat huruf “R”.
“Ini Dian, ya? Wah apa kabar? Masih ngga bisa bilang R yah?”
“Wahh, cari masalah nih. Kabarku baik, bagaimana dengan kabarmu?”
“Baik juga. Ngomong-ngomong dari mana kamu dapatkan nomerku ini?”
“Dari Siti. Aku sudah susah payah mencari nama kamu di sosial media, tapi tidak pernah ketemu. Nama kamu yang sebenarnya siapa sih?”
“Hahaha…. aku tidak memakai nama asli. Mengikuti trend sekarang pakai nama samaran biar terlihat keren,”
“Huuhh, keren tapi ngaco. Tidak cinta dengan nama yang diberikan orang tua,”
“Oh iya, gimana ceritanya kamu ketemu Siti, Di?”
“Begini, May. kamu sudah tahukan kalau Siti sudah jadi anak yatim piatu?”
“Iya, kenapa?”
“Kemarin aku sempat ketemu dia di Jakarta. Rencananya dia akan mengirim paket hadiah ulang tahunmu ke Kantor Pos. Tidak sengaja aku ketemu dia di jalan. Sebenarnya dia ingin sekali menghubungi kamu, tapi ponselnya sudah dijual. Besok dia akan berangkat ke Jepang,”
“Jepang… Dia mau jadi TKW di sana?”
“Makanya kalau orang lagi ngomong tolong jangan dipotong dulu. Yang jadi TKW itu tantenya. Majikan dari tantenya mau menanggung biaya operasi kakinya Siti sekaligus membiayai sekolah Siti di sana. Beruntung yah Siti,”
“Jepang kan terkenal dengan komiknya, banyak komik yang dibuat oleh orang-orang Jepang itu sendiri. Cita-cita Siti menjadi komikus pasti bisa tercapai di sana,”
“Ya begitulah. Bisa dibilang kamu kalah bersaing dengan Siti yang punya kekurangan,”
“Mau gimana lagi, mungkin Allah sudah menakdirkan Siti untuk sukses melalui perantara tantenya. Beda denganku yang sudah ditakdirkan untuk jadi begini,”
“Kemana Maya yang aku kenal dulu. Dulu kamu adalah anak yang selalu ceria dan paling bersemangat. Allah bisa memberikan jalan dan perantara bagi orang yang mau berusaha. Kalau kamu hanya diam tanpa berkeinginan untuk merubah, kamu tidak akan bisa mencapai cita-citamu keliling Kalimantan,”
“Darimana kamu tahu kalau aku ingin sekali keliling Kalimantan?”
“Egi dan Dimas, aku sudah tahu semua cerita pengalaman kalian bersama almarhum nenek Jamilah di mess perusahaan tempat kalian tinggal dulu. Aku iri dengan pengalaman kalian itu,”
Aku hanya terdiam tak berani berkata-kata, dari nada suaranya terdengar Dian sangat bersungguh-sungguh.
“May, jujur. Setelah lulus dari SD, aku sangat merindukanmu. Aku rindu kejahilanmu, aku rindu tawamu, aku rindu kebodohanmu yang menurutku lucu. Setelah lulus aku tidak mengetahui kalau perusahaan tempat kalian tinggal mengalami kebangkrutan. Ternyata hal itu yang membuat kalian berpencar kemana-mana. Kamu dan teman-teman awanmu kembali ke kampung halaman masing-masing. Yang aku tahu bahwa kalian mengalami krisis percaya diri setelah kematian nenek Jamilah. Sampai kapan kamu ingin terkurung dalam krisis percaya diri seperti ini?”
“Dian….”
“May, aku sayang kamu. Dari sekian banyak wanita yang aku temui, rasanya tak sama saatku bertemu kamu. Yang dulu pernah kurasakan mungkin hanya cinta monyet, tapi semakin dewasa rasanya cinta itu adalah cinta yang sesungguhya bukanlah cinta monyet biasa,”
Aku masih terdiam di tengah berisiknya toko itu. Aku mencoba memahami kata demi kata yang diucapkan Dian. Hatiku serasa luluh saat dia bilang cinta. Di sampingku, terdengar suara bu Nia berteriak-teriak bilang lantang “Beras 5 kilo!”
“May, mulai sekarang kita rival. Aku akan berusaha menggapai cita-citaku menjadi seorang pengusaha sukses dan kamu harus bisa menggapai cita-citamu menjadi seorang petualang. Tiga tahun yang akan datang kita akan bertemu dan kalau kita memang ditakdirkan berjodoh, aku ingin menikahimu,”
Dian mematikan ponselnya, tanpa peduli dengan diriku yang masih dalam keadaan linglung. Dian mengingatkan kejadian yang mengukir sejarah dihidupku beberapa tahun yang lalu.
Plak…. sebuah botol bekas air mineral mendarat tepat di kepalaku. Kejadian itu membuatku tersadar. Terlihat wajah geram bu Nia yang menaruh dendam kepada karyawannya yang agak sedikit bandel (melanggar peraturan dilarang mengangkat telpon saat banyak pelanggan).
Bersambung ke Sahabat Awan Bagian 2
Leave a Reply