Jumat, 1 Agustus 2014, beberapa hari sebelum HUT RI, atau H+4 idulfitri 1435 H, aku menuju kota Garut untuk mendaki gunung Papandayan. Bersama seorang temanku, Arif Afandi. Kami menumpang bus Primajasa Lebak Bulus-Garut. Naik dari terminal Lebak Bulus, Jakarta. Bus melaju santai menuju Pasar Rebo untuk mengangkut penumpang yang akan naik dari sana.
Ketika bus berhenti di suatu jalan perempatan karena lampu lalu lintas, naiklah beberapa pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Mulai dari makanan, minuman, hingga mainan. Aku yang sedang duduk rileks di kursi bus sambil mendengarkan lagu “Balonku Ada 5” via earphone tiba-tiba disodori sebotol air mineral tepat di depan muka, ternyata seorang pedagang cilik menawarkan dagangannya. Berhubung aku belum membekali air minum untuk perjalanan yang cukup panjang 5 jam ke depan Jakarta-Garut, aku terima tawarannya. Aku beli sebotol air mineral yang Ia hargai Lima Ribu Rupiah. Aku berikan selembar uang Sepuluh Ribu Rupiah dan lantas dengan senyum dan sigap dia memberikan aku air mineral itu, kemudian merogoh saku celananya untuk uang kembalianku.
Sesaat kemudian, dia mengatakan “maaf, bang. Nggak ada kembaliannya, nih. Ada uang pas, gak?”
Aku lepas satu earphone yang menempel di telingaku, dan menanyakan kembali apa yang dia katakan. Ya, dia meminta aku membayar dengan uang pas sementara aku pun tidak ada. Akhirnya aku katakan saja “untuk kamu aja deh kembaliannya.”
Dengan senyumnya lagi dia mengucapkan terima kasih, dan aku balas “semangat yah jualannya!”
Kemudian dia berlalu ke depan untuk kembali menjajakan dagangannya kepada penumpang lain.
Aku perhatikan dia berjalan sambil berteriak “air minum.. air minum.. yang aus…” dengan lantang. Entah kenapa aku baru sadar, dia masih begitu kecil, kalau aku tebak mungkin dia sekitar umur 9-10 tahun, mungkin dia kelas 5 atau 6 SD. Aku jadi teringat masa lalu, aku pun begitu. Di umur segitu aku berjualan air mineral asongan, bedanya aku di kereta api, bukan di bus. Teringat masa kecilku dulu, begitu mengebu mengejar cita-cita ingin jadi pengusaha.
Sejak kecil itu nyaris hidup aku dihabiskan di rangkaian kereta. Rumahku yang dekat dengan stasiun kereta adalah salah satu pengaruhnya. Ya, aku sangat menyukai kereta, terutama KRL (kereta rel listrik). Ular besi ini hampir selalu aku naiki setiap hari. Waktu kecil dulu pun aku sempat bercita-cita ingin jadi masinis kereta api, menyenangkan rasanya memegang kendali si ular besi, mengantar penumpang ke tempat tujuan. Kalaupun tak terwujud, minimal aku mau jadi PPKA, Pengatur Perjalanan Kereta Api. Itu loh yang ada di ruang informasi stasiun, yang menyiarkan ketika kereta hendak datang dan berangkat. Perjalanan kereta itu Ia yang mengatur. Mengendarai kereta api emang gak bisa sesuka hati seperti mengendarai sepeda. Semua diatur untuk menghindari tabrakan antar kereta.
Sebentar, tulisan ini sebenarnya tentang apa? Maafkan, aku emang suka melebar kemana-mana kalau menulis, apalagi menulis dadakan di dalam bus yang sedang dalam perjalanan. Baiklah, kawan-kawanku yang budiman walaupun namanya bukan Budiman. Sekarang aku sambungkan kembali dengan sebuah cerita.
Suatu hari, di tahun 2005, seingat aku waktu itu saat kelas 5 SD. Seperti biasa aku pulang sekolah naik kereta. KRL Ekonomi yang masih ada kala itu. Ada rasa malas pulang saat itu, hingga aku memutuskan untuk bermain-main dulu di kereta, ke Jakarta kelilng kota naik kereta. Ya, dari stasiun Bogor akhirnya aku lewatkan stasiun Cilebut yang harusnya aku turun di situ untuk pulang. Aku bablas ke Jakarta menghilangkan penat.
Keren yaa bocah ingusan kelas 5 SD sudah bisa merasakan penat. Padahal masalah hidup terbesar saat itu hanyalah PR matematika.
Kamu tau KRL Ekonomi? Atau pernah menaikinya? Kalau pernah, masa kecil kamu pasti bahagia. Jauh sebelum ada Commuter Line, KRL Ekonomi begitu murah walau tak nyaman, pintu kereta terbuka lebar saat berjalan, banyak yang naik di atap kereta. Terbilang membahayakan. Yaa namanya juga kelas ekonomi.
Di KRL Ekonomi tak hanya ada penumpang kereta, ada pedagang asongan, pengemis, pengamen, bahkan ada badut sulat dan topeng monyet juga juga. Benar-benar transportasi umum yang antik.
Kala itu aku perhatikan pedagang asongan berlalu lalang berjualan. Pikirku enak juga jualan, menyenangkan menghasilkan uang sendiri, Di detik itu juga aku jadi tertarik untuk berjualan. Saking tertariknya saat sudah turun dari kereta, di stasiun Jakarta Kota, aku dekati seorang pedagang air mineral. Aku menanyakan tempat dia ‘mengambil’ dagangan. Untungnya dia baik, memberi tau. Tempatnya di dekat stasiun Bojong Gede. Esoknya, sepulang sekolah dan setelah ganti baju tentunya, aku pergi ke stasiun Bojong Gede, ke tempat bandar air mineral. Aku berniat jualan. Aku bertemu dengan pemiliknya dan menyampaikan niatku. Dia baik ternyata, aku diperbolehkan berjualan, menjual kembali dagangan dia.
Aku masih ingat, aku ‘mengambil’ 20 pcs air mineral gelas, 10 pcs air mineral botol, dan sekitar 20 pcs minuman rasa teh, jeruk, dan lainnya. Dengan wadah ember kecil, aku tampung semua itu, aku berjualan asongan di kereta. Kamu mau tau sistemnya?
- 1 air mineral gelas dari Bandar dihargai Rp. 300 lalu aku jual Rp. 500. Jadi aku dapat untung Rp. 200 dari setiap 1 gelas air mineral yang terjual.
- 1 air mineral botol dari Bandar dihargai Rp. 2.000 lalu aku jual Rp. 3.000. Jadi aku dapat untung Rp. 1.000 dari 1 air mineral botol yang terjual.
- 1 gelas minuman teh dari Bandar dihargai Rp. 600 lalu aku jual Rp. 1.000 jadi aku dapat untung Rp. 400 dari setiap 1 gelas minuman teh yang terjual.
Hari pertama itu, aku berjualan dari pukul 2 siang sampai pukul 7 malam. Berjualan naik-turun dari satu kereta ke kereta lainnya. Rutenya masih naik KRL Jakarta-Bogor, masih belum berani naik jalur atau rute lain, maklum lah masih kecil takut nyasar dan diculik.
Aku menikmatinya, menyenangkan rasanya berjualan. Walau berat juga ujiannya. Hingga pukul 5 sore dagangan aku hari itu masih laku sedikit, bisa terhitung jari mungkin. Sempat juga mengeluh, ada rasa takut nggak laku. Niatnya sih pulang sebelum langit gelap tapi aku penasaran. Dagangan masih laku sedikit, aku nekat berjualan sampai malam. Aku coba tambah semangat berjualan, bulak-balik dari ujung depan rangkaian kereta ke ujung rangkaian belakang, lalu turun, berganti kereta, begitu seterusnya. Alhamdulillah, tak ada perjuangan yang sia-sia. Pukul 6 sore danganganku laku banyak, dibeli oleh para penumpang kereta yang kehausan.
“AIR MINUMNYA YANG HAUS.. YANG HAUS.. YANG HAUS”
Lantang sekali aku mengucapkannya sambil membawa ember kecil berisi air mineral. Kala itu di KRL Jakarta-Bogor aku naik dari stasiun Pasar Minggu menuju Bogor, sekalian pulang aku kembali berkeliling rangkaian kereta menajajakan dagangan. Pukul 6 sore, jamnya orang pulang kerja, KRL Ekonomi yang padat tak ber-AC membuat penumpang gerah, otomatis kehausan juga. Aku memanfaatkannya menawarkan kepada mereka.
Puji syukur, daganganku diserbu para penumpang hingga abis tak bersisa, sisa embernya doang. Senyumku lebar sambil mengucapkan syukur tak henti dalam hati. Aku kembali ke Bojong Gede untuk setoran.
Berapa rupiah yang aku bawa di hari pertama? Sesuai sistem yang aku kasih tau di atas, jadi beginilah..
Setoran
20 gelas air mineral x Rp. 300 = Rp. 6.000
10 botol air mineral x Rp. 2.000 = Rp. 20.000
20 minuman teh x Rp. 600 = Rp. 12.000
TOTAL = Rp. 38.000
Hasil
20 gelas air mineral x Rp. 200 = Rp. 4.000
10 botol air mineral x Rp. 1.000 = Rp. 10.000
20 gelas minuman teh x Rp. 400 = Rp. 8.000
TOTAL = Rp. 22.000
Iya, jadi aku dapat untung Rp. 22.000, uang yang cukup besar untuk ukuran anak kelas 5 SD, megang uang Lima Puluh Ribu aja merinding, apalagi itu zaman dulu, bukan zaman sekarang. Tapi…. Ngga dulu-dulu banget kok. Nggak, aku nggak setua itu.
Kamu mungkin kudu mencatat, aku menghasilkan uang tanpa bermodal uang. Cuma modal niat, keberanian dan usaha untuk mencoba.
Dalam berbisnis atau usaha, modal itu bukan yang utama. Yang pertama dibutuhkan adalah ide. Cari celah untuk mencobanya, lalu action dengan tindakan nyata. Kalau cuma menghayal aja mah anak bebek juga bisa. Eh, maaf. Ada yang lupa, dalam usaha juga butuh doa. Sangat butuh malah. Jadi, jangan lupa selalu berdoa juga, ya.
Jadi, ceritanya aku pulang jualan, pulang ke rumah malam sekitar pukul 7. Sampai rumah disambut Ayah dengan tampang marah.
“Main kemana aja dari siang sampai malem gini?”
Karena anak kecil masih polos, nyaris nggak pernah bohong, aku jujur aja kalau aku abis jualan di kereta. Tanggapan Ayah? Jelas tambah marah lah.
“…..Kamu itu masih sekolah, ngerti gak?”
Aku dimarahin habis-habisan malam itu, diceramahin Ayah bagai khotbah Jumatan. Bedanya ini malam. Mana ada shalat Jumat di waktu malam..
Besoknya, aku nggak kapok. Aku jualan lagi. Pulang dimarahin Ayah lagi. Jualan lagi, pulang dimarahin ayah lagi. Jualan lagi, pulang dimarahin ayah lagi. Begitu saja terus sampai Ayah capek sendiri memarahinya.
Mohon maaf, Ayah. Aku terlanjur jatuh cinta berjualan.
Lama-lama Ayah luluh juga, mengizinkan aku berjualan tapi dengan syarat pulang sebelum langit gelap. Malam waktunya belajar. Aku sanggupi, walau terkadang masih rada bandel, aku kadang masih suka pulang malam. Tapi, aku bawa buku pelajaran. Jualan di kereta, ketika turun di stasiun, sambil nunggu kereta berikutnya aku sempatkan buka buku pelajaran, mengerjakan PR. Iya, aku mengerjakan PR di peron stasiun. Jadi namanya PS, Pekerjaan Stasiun, bukan Pekerjaan Rumah.
Aku keasikan berjualan waktu itu, benar-benar menyenangkan. Iseng-iseng aku mencoba peruntungan beralih berdagang yang lain. Aku pilih akan berjualan koran. Seperti sebelumnya, aku tanya ke tukangnya di mana tempat dia ‘mengambil’ dagangan. Dikasih tau, lalu aku mulai alih jualan koran. Hasilnya kurang memuaskan. koran yang aku jual kurang laku, bahkan pernah nggak laku. Secara aku jualannya siang sampai sore. Sedangkan rata-rata orang membeli koran itu pagi, dan pagi itu aku sekolah. Aku anggap nggak cocok, aku kembali aja jualan air mineral. Jualan lagi, dapat uang lagi dan bahagia lagi.
Kamu mau tau uang hasil jualan aku dipakai untuk apa aja waktu itu? Dibeliin mainan lah anak kecil mah. Beli tamiya, beablade, pistol-pistolan, apa sajalah mainan anak kecil masa dulu, beda dengan mainan anak kecil zaman sekarang, masih SD sudah maen smartphone. Dulu mah aku mau telponan aja kudu ke wartel dulu.
Senangnya bisa beli mainan tanpa harus minta ke orang tua. Setelah mainan sudah cukup banyak, mulai bosan juga. Hingga aku kepikiran untuk suatu perkembangan. Aku pikir sepertinya jualan dengan modal sendiri itu lebih baik, lebih banyak menghasilkan untung. Setelah bertanya-tanya berapa harga air mineral satu dus dan hitung-hitungan ala anak kecil kelas 5 SD, aku mau mulai perubahan dengan berjualan modal sendiri, tanpa ‘mengambil’ di Bandar lagi.
Tapi modal dari mana? Uang hasil selama ini aja habis untuk beli mainan. Aku merenggek minta uang ke Ayah untuk modal beli air mineral beberapa dus. Tapi….. nggak dikasih, dong. Secara dia sendiri nggak mendukung aku berjualan. Dia mau aku fokus sekolah. Lagi pula (Alhamdulillah) keluarga aku termasuk orang yang berkecukupan hingga tidak perlu sampai anak kecil berjualan membantu orang tua. Tetangga-tetangga aku yang tau pun kadang suka bertanya-tanya “itu Erland keluarganya hidup berkecukupan ngapain segala jualan?”
Aku sendiri bingung kalau disuruh jawab. Memang bukan alasan ekonomi aku jualan, tapi ketertarikan pada dunia usaha. Sampai aku melupakan cita-cita yang ingin menjadi masinis kereta, beralih cita-cita mau jadi pengusaha.
Berhubung minta uang untuk modal nggak dikasih sama Ayah, akhirnya aku nabung memanfaatkan uang jajan aku. Rela mengurangi jajan berminggu-minggu, ditambah aku masih suka jualan ambil ke Bandar, hasilnya kali ini nggak aku beliin mainan lagi, aku tabung di sekolah. Itu loh tabungan di guru wali kelas, yang buku tabungan warna-warni beli di tukang foto copy. Kamu pernah nabung kayak gitu juga waktu dulu sekolah? Masa kecil kamu pasti bahagia!
Setelah kurang lebih sebulan aku nabung, akhirnya terkumpul uang juga. Aku beli beberapa dus air mineral. Sayangnya, aku lupa dulu berapa harganya. Kalau nggak salah (berarti benar)… satu dus sekitar Tiga Puluh Ribu rupiah. Aku beli beberapa dus air mineral gelas, air mineral botol dan beberapa dus minuman rasa teh. Seingat aku untuk modal saat itu habis sekitar Seratus Lima Puluh Ribu rupiah.
Sekarang aku jualan dengan modal sendiri, berasa ganteng jadi pengusaha sejak usia dini. Dan benar-benar dapat untung lebih banyak daripada ‘mengambil’ di Bandar. Nggak perlu lagi setoran, semua uang aku yang kendalikan. Hasilnya aku tabung lagi di tabungan sekolah, terus ditabung terus sampai guru aku nanya kebingungan
“Ini tabungan kamu paling banyak di antara yang lain. Kamu sehari jajan berapa dikasih orang tua?” kata bu guru yang cantik tapi galak kala itu.
“Itu uang hasil jualan, bu. hehe” aku jawab sambil tersipu malu.
Senangnya berlipat-lipat ganda punya penghasilan sendiri, tabungan banyak. Walau capek pagi-siang sekolah, siang-malam jualan. Tapi itu semua dibayar oleh hasil yang memuaskan. Sampai waktu itu sekolah aku ngadain Study Tour, kalau nggak salah (berarti benar)… ke Gedung Sate Bandung dan Air Panas Ciater. Bayarnya sekitar Rp. 200.000 dan itu aku bayar sendiri dengan uang tabunganku. Pikir aja anak kelas 5 SD punya uang segitu bukan hasil minta dari orang tua, gimana rasanya? Dibilang megang uang Lima Puluh Ribu aja tangan merinding.
Waktu berlalu sampai aku kelas 6 SD, awal-awal aku masih jualan juga. Tapi mendekati akhir sekolah aku benar-benar berhenti dulu jualan karena aku harus fokus EBTANAS.
Eh, kamu tau EBTANAS? Kalau tau, berarti kita seumuran. Ehe.
Sampai akhirnya, Alhamdulillah.. lulus SD, aku melanjutkan ke SMP.
Lokasi sekolah? Tetap jauh dari rumah yang mengharuskan aku naik kereta untuk pulang perginya. Saat sudah SMP dan ketika pulang naik kereta, aku lihat pedagang asongan, sedikit rindu aku untuk kembali berjualan. Akhirnya aku berniat untuk jualan lagi, mengejar cita-cita jadi pengusaha lagi, aku pikir aku harus lelah dulu memang berjualan. Ada saatnya nanti aku berbisnis tanpa lelah lagi, mempekerjakan pegawai aku, jadi Bandar, tinggal nunggu para pegawai setoran uang ke aku. Ah, itu cita-cita ku!
Akhirnya aku berjualan lagi di kelas 1 SMP, tapi berhenti saat-saat akan naik ke kelas 2 SMP. Kenapa? Aku dilihat teman-teman sekolahku, bahkan teman sekelasku. Mereka melihat aku jualan di kereta. Perasaanku? Jelas malu, namanya juga remaja.. Malu jadi bahan omongan di kelas oleh teman-teman, malu saat ditanya-tanya juga, kesannya gimana gitu ya jualan dianggap level orang kurang mampu, jualan di kereta pula. Akhirnya aku berhenti jualan selama kelas 2 SMP. 1 tahun penuh aku mengubur sesaat impian hanya karena sifat konyol remaja; GENGSI.
Singkat cerita, aku naik ke kelas 3 SMP. Di suatu siang yang terang matahari menyinari bumi–yaa kalau matahari nggak menyinari mah gelap–salah satu paman aku yang pengusaha steam mobil dan motor main ke rumah aku. Aku yang lagi duduk-duduk nggak jelas di teras rumah, ditanya oleh paman aku itu.
“Gak jualan lagi, Land?”
“Nggak, Om. Malu sama temen-temen” Aku jawab dengan tampang wajah suram.
Sejurus kemudian paman aku mengatakan suatu kata-kata yang sampai detik ini nggak aku lupakan, masih ingat bagai tertanam di otak.
Lah, jualan kok malu? Jangan malu berjualan, sebaik-baiknya pekerjaan itu berdagang. Nabi Muhammad aja dulu pekerjaannya berdagang.
Kata-kata itu bikin semangat berbisnisku tumbuh lagi, bikin termotivasi. Dipikir benar juga, untuk apa malu berjualan selama apa yang dijual itu halal? Rasulullah SAW aja dulu pekerjaannya jualan.
Setelah itu, aku pikirkan baik-baik bisnis apa yang enak untuk selanjutnya.. Aku disarankan bisnis pulsa oleh paman aku, karena waktu itu adalah awal-awal populer penggunaan ponsel untuk SMS-an. Kecil-kecilan pun tidak apa-apa, karena kata Bob Sadino:
Setinggi apapun pangkat yang dimiliki, kamu tetep seorang pegawai. Sekecil apapun usaha yang kamu punya, kamu adalah bosnya
Aku akhirnya usaha jualan pulsa. Menawarkan ke teman-teman sekelas, ke teman sekitar rumah, tetangga, dan siapapun semua orang yang aku kenal. Bertujuan orang-orang tau apa yang aku jual, jadi ketika mereka butuh pulsa, selalu teringat aku.
Kiprah berjualan pulsa lumayanlah, nambah-nambah uang buat tabungan. Aku berencana buka usaha lain setelah lulus SMP nanti, berencana berbisnis yang lebih besar setelah SMK nanti, maka itu aku giat promosi jualan pulsa sana-sini, nabung untuk modal usaha nanti.
Akhirnya.. Aku lulus SMP, uang tabunganku sudah cukup banyak untuk memulai suatu yang baru, bisnis yang baru, melampiaskan hasrat wirausaha yang dulu terpendam sifat malu remaja.
Sekarang ceritanya aku sudah kelas 1 SMK, uang tabungan udah tersedia untuk modal usaha. Usaha apa yang akan aku geluti selanjutnya?
Biar ada drama ala sinetron, aku buat tulisan ini bersambung. Aku sambung lagi nanti kalau lagi santai walau nggak tau kapan santainya. Orang sibuk namanya juga. Sibuk makan dan tidur setiap hari tanpa henti.
Ya pokoknya nanti aku lanjut lagi, berhubung ini hampir nggak terasa bus Primajasa yang aku tumpangi sudah masuk kota Garut, aku harus berterima kasih ke anak kecil penjual air mineral tadi. Tanpa dia, mungkin aku nggak akan menulis ini. Lima jam perjalanan Jakarta-Garut aku habiskan untuk menulis di bus. Sementara temanku, Arif, tidur nyenyak di samping aku menyandarkan kepalanya di pundak aku dengan mulutnya yang menganga. Sebaiknya aku bangunkan dia dengan cara disiram menggunakan air mineral hasil beli di anak kecil tadi yang sama sekali belum aku minum, inilah fungsinya air.
Dan akhirnya tujuan kami sudah tiba. Kota Garut! Kota yang indah dengan dua gunung terkenalnya, Papandayan & Cikuray. Aku rekomendasikan kalian untuk mengunjungi Garut. Kota ini rajin membuat rindu.
Baiklah, kawan. Sampai jumpa.
Leave a Reply