Setahun sudah aku pergi meninggalkan desa kesayanganku, masa liburan akhirnya tiba dan hati ini sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ibu dan bapak di kampung.
Sepanjang perjalanan dari Semarang melintasi laut lepas hingga akhirnya aku sampai ke kampung halamanku Sungai Hijau, Kalimantan tengah, selalu terbayang wajah kampung yang elok dan jauh dari kebisingan.
Sesampainya di tepi jalan raya menuju desa, aku agak terkejut melihat keadaan sekitar. Sangat jauh berbeda sebelum aku pergi dari kampung ini untuk menimba ilmu di kota orang. Sebelumnya di sepanjang jalan hanya ditumbuhi pohon-pohon karet, namun sekarang sudah ada kedai-kedai di pinggir jalan dan pangkalan ojek yang siap mengantar ke desa. Maklum, desaku jauh dari jalan raya.
Ada satu kedai yang menarik hatiku untuk menyinggahi tempat itu walau hanya untuk sekadar minum saja. Tempat berdirinya kedai itu menyimpan kenangan yang indah selama aku di kampung ini dan akhirnya pikiranku melayang-layang mengenang masa lalu itu. Hari-hari yang indah selalu aku lewati bersama Karlina Wiyanti atau biasa dipanggil Lina, sahabat baikku. Walaupun kami tinggal di desa kecil yang jauh dari kesan modern namun kami selalu ceria dan semangat dalam belajar.
Hingga akhirnya sampai kepada hari yang menegangkan bagi kami karena harus menghadapi penentuan kelulusan ujian nasional untuk SMP. Setelah lelah belajar tanpa henti selama 3 tahun, kami harus mempertaruhkan semuanya hanya dalam 4 hari. Aku dan Lina telah mempersiapkan semua ini 3 bulan sebelumnya. Jadi kami tidak terlalu bingung untuk menghadapi hal ini. Pagi itu sekolah kami ramai dengan kunjungan orang tua murid kelas 3 karena hari itu adalah hari penentuan yang kami tunggu-tunggu.
Detak jantungku semakin cepat ketika ibuku mengambil amplop bertuliskan Dewi Putri Kallista yang berarti berisi kertas kelulusanku. Pikiranku selalu terbayang kepada SMA favorit yang ada di kotaku, apakah aku bisa lolos ke sekolah itu tanpa tes dengan nilai yang baik. Detak jantungku terasa terhenti ketika ibu membuka amplop itu di ruang tamu, ingin rasanya aku meneteskan air mata karena rasa gugup ini. Terlihat pula wajah ibu yang takut saat membaca amplop itu dan setitik air mata yang menetes di pipinya membuat aku semakin gugup.
”Syukurlah, Dewi. Kamu lulus dengan mendapatkan nilai terbaik.” kata ibu.
Mendengar ucapan itu, aku segera mengambil sandal dan meminta ijin untuk pergi ke rumah Lina, sahabat baikku itu. Sesampainya di rumah Lina, aku temui dia di depan ruang tamu dengan wajah yang murung.
“Kenapa kamu, Lin? Jangan bilang kamu tidak lulus ujian.” tanyaku.
“Tidak, Dew. Aku hanya sedih karena aku tidak bisa melanjutkan ke SMA yang kita inginkan.”
“Kenapa, Lin? Apa karena kamu tidak mendapat nilai yang baik?”
“Aku mendapat nilai yang baik, tapi kedua orang tuaku tidak bisa menyekolahkanku lagi karena aku harus membantu ibu berjualan.”
“Lin, sudah lama kita bercita-cita untuk melanjutkan SMA tanpa tes dengan hasil nilai kita yang bagus, walaupun kita harus berjalan jauh dan naik truk untuk pergi ke kota. Ternyata semua itu hanya tinggal mimpi sekarang?”
“Tidak, Dewi. Kamu tetap akan melanjutkan cita-cita itu. Setiap pagi aku akan mengantarmu ke tepi jalan raya sana dengan sepedaku dan menjemput kamu setiap pulang sekolah.” kata Lina sambil menatap wajahku.
“Benarkah semua itu, Lin?”
“Iya… Tapi dengan syarat kamu harus memberikan aku pinjaman buku untuk aku pelajari dan mengajari aku ketika ada kesulitan.”
Mendengar perkataan itu, aku langsung memeluknya. Air mata ini pun tak bisa kubendung lagi. Tak kusangka ternyata warga di desaku masih banyak yang kurang mampu, padahal mereka sudah bekerja keras di desa sendiri tapi apa daya kekuaasaan ada di tangan mandor pengumpul yang kerjanya hanya mengumpulkan karet yang sudah disadap dan memberikan uang tak sesuai dengan kerja keras mereka.
Hari pertama masuk sekolah, aku di jemput Lina pagi-pagi sekali sekitar pukul 5 subuh. Aku memang harus berangkat pagi karena aku akan melewati perjalanan yang panjang untuk ke sekolah. Pagi itu Lina menjalankan sepedanya dengan semangat untuk menuju jalan besar, kami harus melewati jalan kecil yang rusak dan melewati hutan karet untuk ke sana. Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya sampai juga di tepi jalan besar kemudian aku menaiki truk angkutan yang biasa mengangkut anak-anak sekolah ke kota, sedih rasanya aku harus meninggalkan Lina pulang sendirian.
Sepulang sekolah tidak lupa aku menyisihkan uang jajanku untuk membeli minuman dan makanan kecil untuk aku berikan kepada Lina. Sore itu Lina yang menjemputku berdiri tegak di atas tanah yang sekarang berubah menjadi kedai itu, sambil memegang sepedanya dan menyambutku dengan senyuman manisnya. Aku kayuh sepeda dengan pelan sambil menikmati pemandangan di sekeliling dan bercerita tentang pelajaran yang aku dapat di sekolah. Sementara itu Lina menikmati makanan yang aku beri. Senang rasanya melihat Lina bahagia dan tertawa. Sesampainya di rumah aku berikan semua buku pelajaranku dan mengajarinya ketika dalam kesulitan.
Begitulah hari-hariku bersama Lina, hingga sampai pada suatu pagi dia tidak menjemputku seperti biasanya. Pagi itu aku diantar oleh bapak, sepanjang jalan menuju jalan besar aku selalu terpikir dengan Lina, kenapa dia tidak menjemputku seperti biasanya. Sepulang sekolah aku tidak melihat dia menjemput di tepi jalan, ada apa dengan Lina yang biasanya tepat waktu itu.
Dengan terpaksa aku harus berjalan kaki pulang ke rumah, walaupun sedikit ada perasaan kecewa kepada Lina, tapi aku yakin dia punya alasan yang jelas untuk hal ini. Malam harinya aku sengaja ingin menjenguk keadaan Lina dengan membawa buku pelajaranku. Terkejut dan bingung ketika aku melihat tenda-tenda untuk pernikahan didirikan di depan rumah Lina, siapakah orang yang ingin menikah itu mungkinkah ini alasan kenapa dia tidak bisa menjemputku.
“Lina, ini aku Dewi… Apa kamu ada di rumah?” teriakku.
“Hei… kamu sudah lama di sini?”
“Tidak, ini aku mau meminjamkanmu buku.”
“Makasih banyak, Dew. Maaf tadi pagi aku tidak bisa menjemputmu.”
“Tidak masalah, Lin. Aku paham pasti kamu lagi sibuk membantu orang tuamu untuk mempersiapkan acara ini.”
“Iya, aku memang lagi sibuk mengurus segala persiapannya.”
“Ngomong-ngomong siapa yang mau menikah, Lin?”
“A…aku, Dew.” kata Lina sambil terbata.
“Hah…secepat ini kah, Lin? Kita baru 4 bulan lulus dari SMP tapi kamu sudah harus menikah?”
“Aku tidak sama sepertimu, kita berbeda kasta. Kamu memiliki keluarga yang peduli, sedangkan aku hanyalah keluarga miskin yang tidak pantas untuk mengecap pendidikan lebih tinggi dan ditakdirkan untuk secepatnya menikah lewat perjodohan dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali.” sahut Lina seraya meninggalkanku dari ruang tamu.
Aku tidak bisa berbuat banyak dengan hal ini karena aku tidak mungkin bisa melarang hak seseorang walaupun itu pahit. Hari pernikahan itu pun tiba, namun aku hanya menghabiskan waktu di dalam kamar dan mengenang semua masa lalu dengan berhamburkan air mata.
Aku tidak mungkin sanggup melihat dia bersanding dengan seseorang yang tidak aku kenal, sedikit ada rasa ketakutan kalau pria yang ada di sampingnya adalah sosok pria yang tidak bertanggung jawab. Pagi itu aku merasa tidak enak badan dan terpaksa aku harus ijin untuk tidak sekolah, mungkin karena aku terlalu banyak mengeluarkan air mata semalam dan membuat tubuhku terasa lemas.
“Dew, ada seseorang yang mau ketemu kamu.” kata ibu.
“Siapa, Bu? Suruh saja dia masuk ke sini.”
Beberapa saat kemudian…
“Hai, Dew. Apa kabar?”
“Eh.. Kamu, Lina.. Aku hanya merasa sedikit tidak enak aja. Bagaimana dengan kabarmu? Maaf ya kemaren aku tidak bisa ke tempat pernikahanmu.”
“Ngga papa kok, aku mengerti dengan perasaanmu.”
“Bagus lah, oh iya ada keperluan apa kamu kemari?”
“Aku hanya ingin menengok keadaan sahabatku yang paling manja dan kelakuannya masih sangat kekanakan ini.”
“Hemm…, mentang-mentang pengantin baru lalu kamu merasa kamu yang paling dewasa ya.” ledekku kepada Lina.
Akhirnya aku menemukan sosok Lina kembali.Hari itu aku gunakan sebaik mungkin untuk bercanda ria dengannya. Kami pun melewati hari-hari seperti biasanya kembali, di mana Lina selalu mengantar jemput sekolahku, hingga sampai pada suatu sore dia memberitahukan bahwa dia sedang hamil. Berita itu adalah berita yang bahagia sekaligus memprihatinkan bagiku karena dia sudah harus memiliki bayi di usianya yang masih belia. Setiap hari aku selalu ke rumah Lina untuk menjenguk keadaannya. Uang jajanku selalu aku sisihkan untuk membeli susu ibu hamil. Tak pernah kuhitung berapa pengeluaran yang aku berikan padanya karena kesehatannya adalah salah satu hal yang berharga bagiku.
Sembilan bulan kemudian berita bahagia itu datang…
“Dew, kamu tidak ke rumah Lina?” tanya ibu.
“Ngapain, Bu? Aku lagi capek baru pulang sekolah.”
“Kamu belum tau ya, si Lina mau melahirkan hari ini.”
“Benar, Bu? Ibu tidak bercandakan?”
“Iya, ibu tidak bercanda. Cepat kamu ganti baju terus ke sana tengok dia.”
Segera aku berganti pakaian dan menuju rumah Lina, namun terlihat banyak kerumunan warga di depan rumahnya. Ada rasa takut dalam benakku kalau-kalau terjadi sesuatu dengan dirinya. Sedikit demi sedikit kuterobos barisan warga hingga sampai kepada barisan depan dan kutemui ibu Lina yang menangis tersedu-sedu.
“Kenapa Bulek menangis? Apa yang terjadi sama Lina?” tanyaku.
“Dew… Lina sudah meninggalkan kita selamanya.” kata Bulek dengan nada tersendat-sendat.
“Ngga mungkin, Bulek pasti cuman nakutin aku, iya kan?”
“Ngga, bulek ngga bohong, Lina meninggal saat mau melahirkan bayinya.” kata Bulek kembali.
Aku tidak percaya dengan perkataan Bulek, kucari Lina di dalam kamarnya dan ternyata semua itu memang benar. Tubuh Lina yang tidak berdaya itu kupeluk seerat-eratnya, air mata pun rasanya sudah tidak bisa keluar lagi. Penyesalan demi penyesalan datang bertubi-tubi, mengingat semua kesalahan yang aku lakukan dengannya karena aku baru menyadari bahwa sahabat yang sebenarnya adalah sahabat yang memahami dan selalu mengerti dengan kita walaupun ada segudang perbedaan.
Sahabat dan teman sangatlah jauh berbeda, mencari seseorang yang benar-benar sahabat bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami dan setiap insan pasti memiliki sahabatnya masing-masing.
“Ini, dek. Minumnya…” kata penjual.
Suara itu membuyarkan semua lamunanku. Segera kuminum dan kubayar minuman itu. Kulanjutkan perjalanan menuju desa kesayanganku dengan berjalan kaki, sengaja memang aku tidak memilih ojek untuk menemani perjalanan karena ingin kembali menikmati keindahan desa yang ternyata telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Andai saja Lina masih hidup, pasti dia akan menjemputku dan berbagi cerita tentang perkembangan desaku ini.
– TAMAT –
Leave a Reply